Rabu, 19 September 2012

DIARY 6: Accessories; Pemberi Semangat



Suatu hari saya iseng-iseng mampir ke toko sepeda Roda Link di Jl. Teuku Umar, Denpasar. Udah niat sih sebenarnya untuk cari accessories sepeda. Untuk sementara ini yang saya butuhkan adalah lampu sepeda yang model kecil imut-imut trus kalo dinyalain bisa kedap-kedip genit gitu.. kayak cewek-cewek yang lagi ngedipin gebetannya. Niatan saya mencari lampu sepeda adalah karena saya biasanya mulai gowes sekitar pukul 6 pagi, khusus hari minggu bisa lebih pagi lagi, sementara itu di medio bulan May – Juni ini pada pukul 6 pagi suasana-nya masih agak gelap, sehingga cukup bahaya apabila bersepeda di Jalan raya tanpa menggunakan lampu.

Di lemari pajang toko Roda Link pilihannya cukup banyak, sayang harga yang tertera di labelnya lumayan mahal-mahal. Maklum saja kalo dilihat dari tokonya yang mentereng, pasti yang dipajang adalah barang-barang import berkualitas  first grade, dan sepertinya toko ini tidak menjual barang-barang second grade, tapi ya udahlah, sudah terlanjur masuk ke tokonya kok, lagian harga lampu accessories pastilah gak terlampau mahal juga. Untuk ini saya masih menerapkan jurus yang saya pake waktu beli sepeda dulu.
“Mbak, mau beli lampu sepeda, pilihin yang paling murah ya, Cuma buat iseng-iseng kok”.

“Oh ada nih, kebetulan ada yang lagi discount”, dengan sigap si mbak penjaga toko mengambil satu model lampu belakang warna merah dengan tiga buah balon LED di dalamnya, seraya memperagakan cara mengaktifkannya sehingga si lampu seketika memamerkan kegenitannya berkedap-kedip di hadapan calon pembeli.

“Harga tadinya Rp, 138.000,-,  sesudah  discount jadi Cuma Rp. 80.000,- aja” lanjut si mbak.

Karena harga yang disebutkan cukup masuk di akal, maka saya cukup  antusias menerima tawaran si mbak.

“Sekarang kalo lampu depannya ada yang murah juga gak mbak?” tanya saya karena si mbak belum memberikan pilihan untuk lampu depan.
Sejenak mbak penjaga toko tadi sibuk mencari-cari beberapa pilihan lampu depan. Salahsatunya adalah lampu depan berbentuk bulat kecil, dengan hanya satu LED di dalamnya berwarna putih.

“Untuk yang ini harganya Rp. 59.000,-, tapi tidak ada discountnya”.

“Carikan yang ada discountnya dong mbak”, rayu saya.

Beberapa saat kemudian si mbak tadi menunjukkan satu set lampu depan dan belakang, masing-masing berwarna merah dan putih model single LED, merk CAT EYE’s h dengan harga yang tertera di labelnya adalah Rp. 118.000,-. Pikir-pikir sebentar, tampaknya untuk pilihan terakhir ini saya mengeluarkan uang yang lebih sedikit daripada harus membeli lampu depan dan belakang yang terpisah. Akhirnya saya putuskan bahwa yang terakhir inilah yang saya pilih.

Keesokan harinya saya kembali mampir ke sebuah toko sepeda di seputaran Canggu, bukan toko sepeda mewah, nama tokonya pun saya tidak ingat lagi, namun di depannya terpajang cukup banyak unit sepeda, sehingga saya cukup yakin bahwa di toko ini juga dijual accessories untuk sepeda. 

Setelah masuk ke dalam toko tersebut, seorang ibu yang nampaknya adalah pemilik toko tersebut menyapa saya menanyakan apa yang saya butuhkan. Kali ini  yang saya cari adalah gembok rantai untuk sepeda. Maklum lah, meskipun sepeda yang saya miliki adalah sepeda low grade, tapi modelnya saya rasa cukup keren sehingga saya agak khawatir kalo-kalo harus meninggalkannya tanpa terkunci saat diparkir.

Si ibu langsung mengeluarkan sebuah model kunci gembok sepeda merk Polygon dengan model yang cukup menarik, namun untuk model yang satu ini saya merasa masih agak berat dan kabel pengikatnya kurang panjang, saya pun menanyakan kalo-kalo ada model lain. Si ibu menunjukkan model lain dengan kabel pengikat yang cukup panjang, pengunci dua system yakni menggunakan angka kombinasi dan anak kunci, serta lengkap dengan lampu kecil terintegrasi. Tipe terakhir inilah yang saya pilih, karena modelnya lebih bagus dan harganya pun tidak terpaut jauh dengan model pertama yang ditunjukkan tadi. Untuk kunci yang saya pilih saya diberi harga Rp. 60.000,- sedangkan model pertama tadi harganya adalah Rp. 45.000,-

Memang accessories bukanlah hal yang terpenting dalam kita bersepeda. Seperti kegiatan-kegiatan hobby lainnya : konsistensi; kesabaran dan keteguhan kita dalam menjalankan aktifitas lah yang nantinya akan memberikan hasil yang diharapkan. Namun senang sekali rasanya sesekali bisa membeli accessories untuk sepeda, karena meskipun tidak terkait langsung dengan kemampuan saya menggowes, tapi paling tidak hal ini bisa menambah semangat untuk tetap rajin menggowes sepeda setiap harinya.

Kamis, 13 September 2012

DIARY 5: Esensi kehidupan


Ternyata  setelah beberapa kali hari minggu saya melakukan aktifitas bersepeda, saya mulai bisa menikmati aktifitas luar ruang yang satu ini, bisa dikatakan inilah hobby baru saya. Meski pun keringat bercucuran, namun badan terasa segar dan bugar tiap kali sehabis bersepeda, hingga kegiatan  ini tidak saja saya lakukan hanya pada hari Minggu, namun juga pada hari-hari lainya.  

Hingga pada suatu hari minggu yang permai di pertengahan bulan May 2012,  saat hendak mulai bersepeda, keduaroda sepeda menunjukkan gejala kekurangan tekanan udara, sehingga saya harus menuntunnya terlebih dahulu ke bengkel terdekat. Namun karena pagi masih cukup dini, terpaksa saya menuntun cukup jauh untuk mendapat bengkel yang sudah buka. Untung tidak seberapa jauh saya temukan juga sebuah bengkel motor kecil yang sudah memulai kegiatannya cukup awal, dan dengan gembira saya pun memasuki bengkel tersebut.


Saya disambut oleh anak muda yang tampak sangat bersemangat membersikan halaman bengkelnya.

"Mau perbaiki apanya Om?" tanya si anak muda dengan nada yang sopan.
"Cuma minta tolong dipompakan saja dik" jawab saya sambil menyodorkan sepeda.
"Beres om" jawabnya pula

Tidak memelukan waktu lama untuk mengisikan udara ke dalam dua ban roda-roda, dan setelah membayar ongkos yang ditagih, saya ucapkan terimakasih untuk segera berlalu, Namun si anak muda ini rupanya masih senang berbasa-basi  dengan saya.


"Mau bersepeda kemana nih Om?", tanyanya.


"Biasa nih, mau jalan-jalan sampai pantai Kedonganan".


"Trus teman-temannya mana om?" tanyanya lagi.


"Waduh dek, saya kalo bersepeda biasa sendiri, soalnya kalo rame-rame saya bisa malu kalo nanti kecapaian dan harus minta berhenti" jawab saya sekenanya.


Ya, saya memang menjawab sekenanya saja untuk pertanyaan terakhir tadi, karena terusterang, sesungguhnya saya  benar-benar tidak memiliki jawaban yang tepat  untuk pertanyaan tersebut. Bagi saya saat itu, pertanyaan tersebut ibarat tinju pamungkas  Mike Tyson yang meng-KO lawan-lawannya di ronde-ronde awal sebuah pertandingan,  benar-benar menohok ke ulu hati dan menghujam ke dalam benak saya. Mungkin kedengarannya itu seperti sebuah pertanyaan yang sederhana dan biasa saja, namun jika direnungkan  dengan seksama, sesungguhnya pertanyaan itu merengkuh  jauh ke esensi terdalam kemanusiaan yakni : bahwa seorang anak manusia tidak dapat melepaskan diri dari perannya sebagai mahluk sosial .


Ya,  sebagai mahluk sosial maka manusia akan selalu mebutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi. Dan jangan-jangan di mata pemuda di bengkel tadi saya ini sejenis manusia yang berjiwa asosial.


Sambil bersepeda, saya masih terus memikirkan apa yang ditanyakan  si anak muda tadi, dan ternyata saya baru menyadari bahwa selama ini saya selalu bersepeda seorang diri. Kebetulan setiap hari minggu pagi  jalan By Pass Nusa Dua sepertinya menjadi salah satu jalur favorit bagi para penghoby bersepeda, dan pemandangan yang selalu saya lihat adalah kelompok orang bersepeda  mulai dari rombongan-rombongan kecil (2 – 3 orang) hingga ke rombongan yang cukup besar (4 sampai 10 orang ), kalau pun ada yang bersepeda sendiri seperti saya, hanyalah satu dua saja.

Apakah saya ini tidak memiliki teman? Meski sudah hampir dua setengah tahun tinggal dan bekerja di Bali, namun rutinitas yang saya jalani sehari-hari adalah rutinitas seputar berangkat dari rumah ke tempat kerja, sebuah proyek pembangunan hotel bintang lima di daerah Canggu. Berangkat pukul setengah delapan pagi, baru pulang paling cepat pukul enam atau setengah tujuh dari tempatkerja.  Dan dengan hari kerja yang Senin hingga Sabtu,  praktis saya hanya memiliki sedikit waktu terluang untuk kegiatan lain serta untuk bersosialisasi. Hari Minggu biasanya saya luangkan untuk di berjalan-jalan bersama istri dan anak-anak, beserta seorang kawan karib keluarga kami.

Ini tentu amat berbeda ketika saya masih bujang dan bekerja di Jakarta dulu. Saya amat banyak memiliki kegiatan selain bekerja. Saya memiliki kawan-kawan dari kegiatan Paduan Suara; saya masih rajin berkumpul dengan kawan-kawan dari masa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan Kuliah; sesekali saya masih mengkontak dan bertemu dengan kawan-kawan dari tempat bekerja sebelumnya di sebuah radio swasta niaga. Untuk kegiatan bermusik, saya aktif berkumpul dan bersosialisasi di sebuah kommunitas Jass.  Dengan tetangga seputaran rumah pun saya selalu menyempatkan diri dalam berbagai kegiatan. Belum lagi terhitung teman-teman yang secara aktif berhubungan melalui jalur dunia maya. Wah kalo boleh membanggakan diri, saya ini bisa dibilang adalah pribadi yang cukup bergaul dan bersosialisasi.

Dalam situasi seperti ini, ada rasa amat rindu dengan sahabat-sahabat saya saat masih di Jakarta dulu.

Tak terasa, memikirkan pertanyaan si penjaga bengkel tadi, saya telah menggowes jauh melebihi target saya ke Pantai Kedonganan, ya sudahlah pikir saya, sepeda pun saya arahkan sekalian ke Pantai Kuta, di sana lebih ramai dan barangkali saja saya bisa dapat teman untuk diajak bersepeda bersama-sama (endingnya mudah ditebak, saya tetap saja bersepeda sendirian).

Selepas area Kuta, saat hendak kembali menuju rumah, telepon di saku tas berdering,

“Pak lagi di mana?” suara istri saya di seberang telepon.

“Masih di Kuta nih mah, sudah mau pulang”.
“Kalo gitu aku jemput di pertigaan pasar Kuta ya Pak, ini kebetulan si Agam (salah seorang sahabat kami ketika di Jakarta dulu) sedang ada di Bali, nginep di daerah Kuta, aku mau jemput ke penginapannya”.

Aaaahhh... betapa senangnya ada seorang sahabat yang datang dari Jakarta dan menyempatkan diri untuk bertemu.

Kamis, 06 September 2012

DIARY 4: Roda Kehidupan



Mungkin dua bulan telah berlalu sejak kejadian “Minggu kelabu” yang meruntuhkan kepercayaan diri dalam hati, selama dua bulan it hasrat untuk menggowes sepeda  sepertinya hilang ditelan asa yang membeku, dan selama masa itu pula sang sepeda terbiarkan saja berdiri merana di sudut halaman, terpapar panas terik matahari serta dinginnya hujan. Hingga akhirnya pada suatu minggu pagi yang sejuk permai, kebetulan tak banyak yang harus saya kerjakan di rumah, tanpa sengaja mata ini tertumbuk pada si sepeda yang teronggok merana di sudut halaman. 

Kondisinya kali ini tampak amat menyedihkan, terlihat dekil; kumal; dan berdebu. Terlebih setelah mencermati lebih jauh,  tampak  lapisan karat menutupi beberapa bagian yang awalnya kinclong berkilau. Bagian roda gigi dan rantainya yang semestinya terbalur minyak pelumas, di sana tampak kering menggiris dan juga berselaput lapisan karat kemerahan. Terenyuh hati ini menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Hadiah ulang tahun dari istri tercinta – yang dulu saya terima dengan rasa haru dan gembira tak terperi – kini harus menanggung lara karena tak pernah lagi saya memperhatikannya atau pun menyentuhnya. Terlebih lagi saat memeriksa kedua rodanya, tak  sedikit pun udara yang tersisa mengisi ruang-ruang pada tabung ban dalamnya, sehingga kedua roda itu pun kempis tak bedaya.

Spontan, segera saya cari lap dan cairan pembersih karat merk WD 40 di lemari penyimpanan,  setelah dapat,  segera saja saya semprotkan ke seluruh badan sepeda sampai ke sudut-sudut yang terkecilnya . Velg dan roda-roda gigi serta rantai tentunya tak luput dari siraman sang cairan pembersih berulang-ulang, sembari semua bagian yang terkontaminasi karat saya gosok secara lembut dengan kain lap kering, saya berusaha sedapat mungkin agar semua karat laknat dan kerak debu dapat tersingkirkan, sehingga tanpa sadar satu kaleng besar cairan pembersih WD 40 tandas demi mengmbalikan kecemerlangan sepeda kesayangan ini.

Setelah puas membersihkan sepeda dan berhasil mengembalikan kilaunya  yang sempat pudar, segera saya menuntunnya keluar, kali ini tujuan saya adalah bengkel motor terdekat untuk memompa roda-roda yang kempis. Beruntung setelah saya periksakan di bengkel, tidak ada bannya yang bocor sehingga cukup dipompakan saja udara segar untuk mengisi tabung ban dalamnya yang telah kosong.  Tak butuh waktu lama, si sepeda sudah siap untuk dipergunakan kembali.

Aaahh.. perlahan tapi pasti semangat untuk menggowes kembali muncul dalam dada, meski ada sedikit ragu namun hasrat ini tak dapat tertahankan untuk kembali menungganginya. Kali ini dengan perlahan saya menggenjot pedal-pedalnya dan dengan lembut sepeda saya bawa menyusuri jalan beraspal yang rata. Tak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan terdahulu, berbagai variasi ratio roda gigi saya coba sambil menggenjot dengan mantab hingga akhirnya saya menemukan rasio yang pas  bagi pemula seperti saya untuk bisa mengayuh  dengan nyaman. Tanpa terasa sudah hampir satu kilo meter jarak yang saya tempuh, cukup jauh dari bengkel motor  tempat awal saya mulai mengayuh tadi, namun karena waktu sudah hampir siang dan untuk tidak menjadi  takabur saya pun memutuskan untu berputar arah kembali pulang ke rumah.

Jalan menanjak menuju rumah akhirnya dengan sukses dan aman dapat saya lampaui, meski pun tiba di rumah dengan otot-otot paha yang sedikit gemetaran, namun tak ada masalah yang berarti, hanya perlu sedikit pelemasan, dengan satu keyakinan bahwa sedikit-demi sedikit kekuatannya akan semakin terlatih seiring jam terbang yang bertambah.

Satu minggu berselang, kembali di hari Minggu yang permai, saya kembali mencoba mengayuh sang sepeda dengan perasaan yang lebih pasti bahwa saya sanggup untuk menempuh jarak yang lebih jauh. Dan tak dinyana, walau masih mengayuh secara perlahan dan santai, pantai Kedonganan yang  jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari rumah dapat saya capai dengan selamat dengan waktu tempuh hampir satu jam.   

Wah.. betapa senang dan bangganya hati ini,  meskipun bila dibandingkan dengan pesepeda yang telah berpengalaman, kemampuan saya ini belum ada apa-apanya, namun tetap saja ini adalah pencapaian yang luar biasa buat saya. Dan kalau boleh berpikir bijaksana seperti filsuf-filsuf Yunani kuno, sepertinya saya telah menemukan arti  dari sebuah pencapaian kecil yang akan membawa kepada pencapaian-pencapaian yang lebih besar.  Ibarat roda kehidupan, dia akan berputar apabila ada manusia-manusia yang dengan ikhlas mengayuhnya.... Caileeeeeee....

Kamis, 31 Mei 2012

DIARY 3 : Mensana In Corpore Sano

Satu minggu setelah gowes pertama, saya masih berkeinginan untuk mencoba gowes lagi. Masih di hari Minggu yang permai, hari yang saya pilih untuk mencoba kemampuan saya bergowes ria. Kali ini saya menuntun sepeda dengan perasaan was-was, karena belum yakin dengan kemampuan otot-otot kaki.


Karena belum mahfum dengan kemampuan diri beradaptasi dengan sepeda baru ini, maka saya harus menerapkan strategi yang tepat untuk dapat setidaknya gowes hingga beberapa ratus meter. Akhirnya saya memilih untuk menggenjot saja sekuat-kuatnya, dengan harapan dapat mengetahui kemampuan otot maksimal.


Ancang-ancang dari depan halaman rumah, sepeda meluncur dengan mulus dan langsung saya arahkan ke luar komplek perumahan. Keluar dari perumahan, jalan masih menurun sehingga saya belum menemukan rintangan berarti. Setengah perjalanan menuju jalan raya jalan sedikit menanjak, dengan strategi yang sudah saya ancangkan sejak awal, sepeda saya genjot sekuat tenaga dan meski nafas tersengal, tanjakan pertama sukses saya lalui dilanjutkan dengan jalan menurun hingga mencapai jalan raya. Dari jalan raya saya arahkan kemudi memilih jalan yang menurun, sehingga saya pun masih aman menuju sebuah toko serba ada untuk membeli beberapa barang keperluan.

Selesai berbelanja, maka mau tidak mau jalan yang saya harus lalui adalah jalan menanjak. Kembali strategi gowes sekuat tenaga saya terapkan, dan tanpa memikirkan perbandingan gear yang harus saya pilih, sepeda saya genjot secara membabi-buta laksana seorang tiran yang kejam memperbudak otot-otot untuk menuruti perintah-perintah tak berperikemanusiaan dari sang kepala. Jalan raya yang menanjak pun berhasil saya tempuh sampai berbelok ke jalan aspal kasar yang menuju ke arah rumah, tetap dengan semangat membabi buta, tanjakkan demi tanjakkan terus saya lahap tanpa jeda istirahat, dan dengan nafas yang terus memburu saya memaksakan diri untuk tetap bertahan di atas sadel sepeda. Untungnya kali ini tidak ada anjing milik tetangga yang menghadang perjalanan menuju rumah. 

Menjelang sampai rumah, jalan menanjak terasa lebih terjal namun tetap saya memaksakan untuk terus menggenjot, sampai akhirnya tibalah saya di rumah. Dan tanpa ampun saya pun tergeletak, terkulai lemas di lantai teras dengan nafas tersengal-sengal, tubuh dari kaki hingga pundak gemetar, perut mual terasa hendak muntah, kepala pusing, dan mata berkunang-kunang. Tubuh ini sepertinya bersekongkol melaksanakan pemboikotan dan melakukan pemberontakan terhadap kediktatoran saya, dan sebagaimana takdir yang biasanya mengakhiri masa pemerintahan seorang diktator, saya pun tumbang menghadapi pemboikotan dan perlawanan tersebut.


Hari minggu kali ini terasa begitu kelabu, hari ini saya tak sanggup mengajak anak istri untuk sekadar berjalan-jalan menikmati hari. Saya memilih untuk merebahkan diri seharian penuh di tempat tidur. Dan akhirnya hari ini berakhir di pembaringan sambil menerima pijitan di sekujur badan dari Bi Lastri tukang pijat langganan istri saya. Dan seperti yang sudah-sudah, Bi Lastri selalu berceloteh yang itu-itu saja. Sambil terpaksa mendengar celotehan si bibi tukang pijat, terngiang saya akan petatah petitih jargon penyemangat olahraga yang dulu biasa didengungkan pemerintahan orde baru: "Mensana In Corpore Sano - Dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat".... Haduuuuuuhhh...



Kamis, 17 Mei 2012

DIARY 2: Ironi Kehidupan



Setiba di rumah, sang sepeda sudah bertengger dengan kalemnya di halaman, disambut dengan komentar dari si bibi kepada istri : "Bu tadi ada yang bawakan sepeda".

Malam ini tentunya belum sempat saya mencoba si baru, tapi sepenggal rencana telah memenuhi benak untuk esok pagi bangun lebih awal mencoba gowes gowes keliling perumahan. Hahahahaha kok rasanya seperti anak kecil yang baru dapat hadiah sepeda mini baru karena jadi juara kelas ya ....

Pagi keesokan hari, bangun dengan semangat empatlima (bahkan mungkin empatlima-enam-tujuh-delapan sembilan-sepuluh), lalu bergegas Cuci muka, kumur-kumur, dan tentunya morning coffee seduhan sendiri agar nyawa secepatnya hadir, mengusir kantuk yang masih tersisa di mata, agar sigap menggerakkan raga yang diselimuti rasa terlalu bersemangat ini untuk mewujudkan rencana yang sudah tersusun sejak semalam (duileh yang dapet sepeda baru ... kalem dong brooo..).

Tidak menunggu lama, sepeda segera saya giring ke depan rumah, setel-setel sedikit tinggi sadelnya supaya jangkuan kaki pas di pedal (lagaknya udah yang kayak goweser sejati dah), sejurus kemudian dimulai dari hentakan pertama .. jalan menurun depan rumah membuat sepeda melaju dengan mulusnya  Wuuuusss..., terciptalah satu momen indah yang terekam dalam mata ini kala alam semesta : pepohonan; awan; rumah-rumah tetangga; pagar-pagar; tiang listrik; bak sampah; paving block; seolah berlari berlawanan arah dengan gerakan slow motion yang serba melankolis, mengharu biru dalam harmoni yang paling sempurna, dihembus angin pagi semilir (layaknya di filem-filem Eropa ), serta lambaian tangan ibu-ibu istri para pekerja bangunan,  hari sepertinya memiliki cara sendiri untuk mengucapkan selamat pagi kepada saya, dengan gaya bahasanya yang paling indah dan paling menggugah semangat.

Jalan paving depan taman di pusat perumahan sengaja saya pilih, karena konturnya yang memang datar-datar saja, cocok untuk arena uji coba. Setiap genjotan benar-benar saya rasakan kalo-kalo ada yang kiranya belum sempurna. Pedal rem; kepakeman rem, dan kelancaran pergantian gigi-gigi tentunya tak luput dari perhatian. Dan rupanya meski tergolong Low Grade (maksud saya harganya murah cing..), namun sepeda merk Le Run march 300 (powered by POLYGON), dengan gear dan pemindah gear merk Shimano ini tidak mengecewakan, cukup sebanding lah dengan dana yang telah kami keluarkan. Keseimbangannya stabil, dan pergantian antar gigi berlangsung cukup mulus meski sesekali ada suara gemeletuk, tak apa, secara keseluruhan semuanya saya nilai ok-ok saja.

Satu putaran, dua putaran saya lalui tanpa hambatan berarti, namun pada putaran ke tiga, nampaknya mulai ada masalah,... bukan.. bukan pada sepedanya, melainkan pada otot-otot di dengkul yang nampaknya mulai memberi sinyal penolakan untuk saya genjot sedikit lebih jauh lagi, dan agaknya saya pun tidak kuasa menolak pembangkangan tersebut, hingga kemudi pun saya arah kan menuju kembali ke rumah.

Rupanya perjalanan kembali ke rumah tidaklah semudah seperti saat berangkat tadi, karena posisi lokasi taman lebih rendah dari posisi rumah maka medan menuju rumah adalah medan yang menanjak, walau sebenarnya sih tidak terlalu terjal, tapi mungkin karena sudah lama sekali saya tidak mengayuh sepeda, dan ditambah lagi dengan otot-otot yang enggan diajak kompromi, jadilah perjalanan pulang menjadi siksaan yang maha berat yang harus saya tempuh. Sebenarnya bisa saja saya turun dan menuntun sepeda pulang ke rumah, tapi alamak tentunya hal itu akan sangat memalukan meski sebenarnya tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Maka demi menjaga gengsi, saya bertekad bertahan untuk tetap berada di atas sepeda hingga tiba di rumah.

Ternyata siksaan yang harus saya alami belum berhenti hanya sampai di situ saja. Seperti peribahasa yang mengolok-olok dengan pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula, beberapa belas meter menjelang tiba di rumah, dua ekor anjing milik tetangga menghadang perjalanan, sambil menggonggong dengan suara salakkan yang seolah diputar tombolnya ke volume maksimum. Meski saya bukan lah orang yang gampang takut kala berhadapan dengan anjing, namun Pastinya ini bukan waktu yang tepat untuk saya menghadapi mahluk-mahluk berambut gimbal tersebut. Di saat jumlah oksigen yang dipasok ke otak jauh lebih sedikit dari kebutuhannya, maka segala hal bisa menjadi sangat irrasional, mahluk yang sering dijuluki "sahabat terbaik manusia" itu dalam benak berubah menjadi sangat menakutkan, seolah mereka adalah mahluk separo gorila separo singa dalam film Star Wars. Tanpa bisa mengasah nalar lebih jauh saya pun berusaha menggenjot pedal sepeda sekuat tenaga, namun apa lacur, dengkul tetap tidak mau menuruti perintah dari kepala, sepeda bergerak dengan sangat lambannya, dan masih dalam kondisi sulit berpikir, saya coba pindahkan gear sejadi-jadinya, yang terjadi malahan genjotan semakin berat dan sepeda semakin lambat pergerakkannya, mencoba mengubah posisi gear pada perbandingan yang berlawanan malah mengakibatkan kondisi lebih fatal lagi, kali ini kayuhan menjadi teramat sangat ringan sehingga sepeda malah tidak bergerak sama sekali. Dalam situasi darurat seperti itu, maka turun dari sepeda lantas berlari secepatnya sambil menuntun sepeda adalah jawaban tercepat yang dapat saya pikirkan.

Setibanya di rumah dengan nafas tersengal-sengal, otot-otot kejang dan bergetar, jantung berdebar bertalu-talu, pandangan mata berkunang-kunang serta tubuh yang lunglai, sambil terduduk di teras, yang dapat saya lakukan hanyalah mengutuki diri ini, ya nasib ya nasib... mengapa alam bersindisikasi dengan sedemikian rupa kejamnya kepada ku, dari awalnya melambungkan euphoria hingga setinggi langit ke tujuh lantas dalam hitungan menit saja langsung menghempaskannya ke dasar samudra terdalam. Ibarat kapal Titanic yang justru karam pada pelayaran perdananya dari pelabuhan Southampton menuju New York.  


Senin, 07 Mei 2012

DIARY 1: Pada Mulanya


Diary ini bermula pada tanggal 4 Januari 2012, persisnya bertepatan dengan tanggal ulang tahun saya, saat istri tercinta meminta saya menemuinya di sebuah toko Sepeda di seputar area Kuta. Mulanya sih saya bingung kenapa istri meminta untuk bertemu di tempat yang tidak lazim ini. Hehehehe… ternyata dia ingin memberi saya kado ulang tahun berupa sebuah sepeda, dan saya diminta memilih sendiri model sepeda yang saya inginkan. 

Beragam sepeda tersedia di toko tersebut, semuanya apik; semuanya keren, tentu membuat bingung untuk memilihnya, namun dalam hati saya memutuskan bahwa pertimbangan masalah harga adalah factor utama untuk saya memilih. Karena meski pun namanya hadiah atau kado, namun kalo yang memberikan adalah istri, tentunya harga yang dibayar menjadi tanggungan berdua. Akhirnya untuk mempersingkat waktu, saya menghampiri sang penjaga toko sambil bilang :”Pak, saya mau cari sepeda model MTB yang harganya paling murah”.

Si penjaga langsung menunjuk ke satu model sepeda sambil bilang : “Yang ini harganya Satujutatigaratuslimapuluhribu rupiah”.

“Masih boleh ditawar gak pak?” Tanya saya lagi.

“Ada discount 5%”.

“Jadi jatohnya berapa?”.

Setelah dia utak atik kalkulator, “Satujutaduaratuslimabelasribu Rupiah Pak”.

“Genapin jadi satujutaduaratusribu aja ya”.

“Tanya koko-nya aja pak”.

Langsung saya cari si Koko pemilik toko, sambil setengah berteriak: “Ko.. sepeda yang itu boleh satujutaseratus ya, langsung saya bayar kes ..”.

Si koko rada bingung, lalu dia Tanya sama si penjaga : “Emang harganya berapa”

“Satujutatigaratuslimapuluh, discount 5%”.

“Ya udah buat bapak ambil deh satujutaduaratus, langsung kita anterin ke rumah”.

Lantaran tidak piawai menawar, dan rasa-rasanya harga yang ditawarkan sudah cocok, ya sudahlah tawar-menawar itu selesai dengan kesepakatan harga terakhir yang disebut oleh si kokoh.

Dengan harga segitu, saya mendapatkan satu unit sepeda dengan spesifikasi sebagai berikut :
           Model              : Mountain Bike
           Merk               : Le Run, March 300 powered by POLYGON
           Tipe                : Semi Off Road
           Suspensi          : Depan saja
           Warna             : Abu-abu metalik
           Gear Ratio        : 21 speed.
           Gear Belakang   : Shimano 7 Gear
           Gear Depan      : Shimano 3 gear
           Gear Switcher   : Model putar
           Rem                : Depan Belakang, model kanvas karet jepit.
           Velg                : Alumunium

 

Tentu saja saya tidak bisa berharap untuk mendapatkan sepeda yang keren dan  super canggih dengan rangka logam super ringan, tetapi paling tidak dengan spesifikasi seperti di atas, saya rasa cukuplah untuk sekedar berolahraga dan bergowes. Di lain waktu dan kalau ada sedikit kelebihan dana, toh saya masih bisa mengganti bagian per bagiannya dengan yang lebih keren.  

Terakhir, tidak lupa ucapan terimakasih untuk istri tercinta yang sudah memberikan kado ulang tahun yang istimewa ini.

Yuuuukkk gowes yuuuukk......